https://jakarta.ninkilim.com/articles/the_moral_depravity_of_weaponizing_hunger/id.html
Home | Articles | Postings | Weather | Top | Trending | Status
Login
Arabic: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Czech: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Danish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, German: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, English: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Spanish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Persian: HTML, MD, PDF, TXT, Finnish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, French: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Hebrew: HTML, MD, PDF, TXT, Hindi: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Indonesian: HTML, MD, PDF, TXT, Icelandic: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Italian: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Japanese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Dutch: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Polish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Portuguese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Russian: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Swedish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Thai: HTML, MD, PDF, TXT, Turkish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Urdu: HTML, MD, PDF, TXT, Chinese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT,

Kebejatan Moral dari Penjadikan Kelaparan sebagai Senjata

Penggunaan kelaparan secara sengaja sebagai senjata – untuk mengendalikan, memaksa, atau menghancurkan kemauan penduduk sipil – adalah salah satu pelanggaran paling parah terhadap etika kemanusiaan dan hukum internasional. Di Gaza, kejahatan ini telah disempurnakan menjadi sebuah sistem. Apa yang telah terjadi bukan sekadar kegagalan kemanusiaan, melainkan sebuah program dominasi yang terencana, disampaikan dengan dalih bantuan. Di inti strategi ini adalah sosok Yasser Abu Shabab, mantan kriminal yang menjadi kolaborator, dan penerapan rezim distribusi yang dimiliterisasi yang lebih banyak membunuh daripada memberi makan. Melalui tuduhan palsu, perang proksi, dan kontrol mematikan atas akses makanan, Israel telah mengubah bantuan kemanusiaan menjadi teater penderitaan dan penyerahan. Warga Palestina dibujuk ke konvoi bantuan hanya untuk ditembak – sebuah taktik yang bahkan dianggap tidak manusiawi dalam perlakuan terhadap hewan liar.

Yasser Abu Shabab: Dari Dunia Bawah ke Pelaksana Proksi

Kisah Yasser Abu Shabab bukanlah kisah penebusan, melainkan oportunisme yang dimanipulasi oleh pendudukan. Dahulu dikenal sebagai tokoh di dunia kriminal Gaza, Abu Shabab dipenjara karena perdagangan narkoba dan penyelundupan senjata hingga kabur pada Oktober 2023. Dalam kekacauan yang menyusul, ia muncul kembali sebagai pemimpin yang menunjuk dirinya sendiri dari apa yang disebut “Kekuatan Rakyat” – yang secara alternatif diberi nama “Layanan Anti-Teror”. Israel, yang bersemangat untuk memecah belah persatuan Palestina dan melemahkan Hamas melalui pemerintahan tidak langsung, dilaporkan mempersenjatai dan memberdayakan kelompok Abu Shabab untuk beroperasi di wilayah yang dikuasai IDF.

Hubungan ini bukanlah hal baru; kekuatan kolonial telah lama mengandalkan penduduk lokal yang secara moral berkompromi untuk bertindak sebagai pelaksana kontrol asing. Namun di Gaza, taktik ini disambut dengan kejijikan seketika. Kolaborasi Abu Shabab dipandang sebagai pengkhianatan yang begitu dalam sehingga suku dan keluarganya sendiri menolaknya. Dalam masyarakat yang menganggap ikatan kekerabatan dan solidaritas sebagai sesuatu yang suci, penolakan publik ini menjadikannya paria. Ia tidak hanya dikucilkan – ia menjadi simbol dari segala yang coba dirusak oleh pendudukan: kesetiaan, identitas, perlawanan. Kisahnya menggambarkan bagaimana penduduk mengubah ambisi pribadi menjadi kehancuran komunal.

Tuduhan Palsu dan Runtuhnya Bantuan

Pusat dari pembenaran Israel atas cengkeraman yang menyesakkan pada sistem bantuan Gaza adalah tuduhan bahwa Hamas menjarah pasokan kemanusiaan. Tuduhan ini, yang muncul pada akhir 2024, digunakan untuk melemahkan legitimasi UNRWA dan memutus jalur pasokan penting. Namun, laporan kredibel kemudian mengungkapkan bahwa kasus penjarahan bantuan yang paling parah – penjarahan 109 truk PBB – bukan dilakukan oleh Hamas, melainkan oleh pasukan Abu Shabab. Meski begitu, narasi ini terus berlanjut, dijadikan senjata untuk membongkar infrastruktur bantuan yang ada dan menggantinya dengan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah aparatus militerisasi yang didirikan pada Mei 2025 dengan dukungan Israel dan Amerika Serikat.

Otopsi Yahya Sinwar: Kontradiksi Lebih Lanjut dengan Narasi Israel

Kontradiksi lebih lanjut terhadap klaim Israel adalah kondisi Yahya Sinwar, pemimpin penting Hamas, pada saat kematiannya. Koroner Israel sendiri menentukan bahwa Sinwar tidak makan selama tiga hari sebelum kematiannya – sebuah detail yang menimbulkan pertanyaan serius. Jika Hamas secara sistematis mencuri bantuan, seperti yang diklaim Israel, tidak masuk akal bahwa pemimpin mereka dibiarkan kelaparan. Bukti ini menunjukkan kegagalan yang lebih luas dalam distribusi bantuan, menunjukkan bahwa pasokan disadap oleh kelompok lain, seperti milisi Abu Shabab, bukan ditimbun oleh Hamas. Kelaparan tokoh kunci seperti Sinwar menyoroti realitas yang mengerikan: bantuan tidak sampai kepada mereka yang seharusnya dibantu, terlepas dari siapa yang mengendalikannya.

Gaza Humanitarian Foundation: Permainan Kelaparan Menjadi Kenyataan

GHF menjanjikan koordinasi dan keamanan. Yang diberikannya adalah pembantaian. Titik-titik distribusi menjadi zona kematian. Gas air mata, peluru karet, tembakan nyata, dan kepanikan mengubah pencarian makanan menjadi permainan rolet Rusia setiap hari. Hampir 800 warga Palestina telah terbunuh dan ribuan lainnya terluka saat mencoba mengakses bantuan. Sistem ini, yang dibangun atas premis palsu dan dipertahankan melalui kekerasan, tidak hanya gagal mengatasi kelaparan – tetapi telah melembagakannya. Ini mencerminkan logika bukan dari bantuan, melainkan dari kontrol: untuk makan, kamu harus patuh; untuk bertahan hidup, kamu harus tunduk.

Menurut hukum internasional, ini adalah kejahatan perang. Pasal 54 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa secara tegas melarang kelaparan warga sipil sebagai metode peperangan, termasuk penargetan atau penghancuran “objek yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil”. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional juga mengkriminalisasi penggunaan kelaparan sebagai senjata. Dengan membongkar agensi yang tepercaya, menolak bantuan, dan membunuh warga sipil di lokasi distribusi, Israel telah membangun sebuah rezim yang sama sekali bukan kemanusiaan – itu adalah senjata.

Berburu Manusia di Atas Umpan: Titik Terendah Kemanusiaan

Mungkin aspek paling mengerikan dari sistem ini adalah cara ia membalikkan hierarki etis dasar. Di Israel, seperti di banyak negara, berburu hewan liar di atas umpan adalah ilegal. Praktik ini dianggap tidak etis – pelanggaran prinsip berburu yang adil yang melindungi bahkan makhluk non-manusia dari penderitaan yang tidak perlu. Namun di Gaza, warga sipil yang kelaparan dibujuk ke makanan dengan dalih bantuan, hanya untuk ditembak oleh tentara. Apa yang dilarang untuk rusa dilegalkan terhadap anak-anak.

Pembalikan etis ini bukanlah kebetulan. Ini adalah titik akhir logis dari dehumanisasi. Ketika sebuah masyarakat tidak lagi dilihat sebagai sepenuhnya manusia, penderitaan mereka menjadi suara latar; kematian mereka, administratif. Jurang moral terbuka paling lebar bukan dalam kabut perang, melainkan dalam kejelasan kebijakan yang memperlakukan kelangsungan hidup itu sendiri sebagai hak istimewa yang dirasionkan oleh penduduk. Orang-orang kelaparan di Gaza bukanlah kerusakan sampingan. Mereka adalah target – dibujuk, ditembak, dan dibuang oleh sistem yang memberikan nilai hukum lebih besar pada kehidupan hewan daripada pada orang-orang yang dibiarkannya kelaparan.

Kesimpulan: Kejahatan di Luar Kata-Kata

Penjadikan kelaparan sebagai senjata di Gaza, yang difasilitasi oleh kolaborator seperti Yasser Abu Shabab dan dilembagakan melalui sistem bantuan militerisasi Israel, bukan hanya strategi perang – ini adalah penodaan martabat manusia. Ini mencerminkan pola pikir di mana makanan menjadi alat dominasi, kolaborasi dihargai, dan warga sipil dibantai karena kejahatan membutuhkan makanan. Penggantian agensi kemanusiaan dengan penjaga bersenjata telah mengubah koridor bantuan Gaza menjadi koridor kematian.

Ini bukan sekadar kegagalan politik. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan tuduhan paling memberatkan terletak pada perbandingan yang seharusnya tidak pernah dibuat: bahwa hewan diberikan pertimbangan etis lebih besar daripada penduduk Gaza yang kelaparan. Pembalikan yang mengerikan ini menuntut kemarahan global – bukan sebagai masalah politik, tetapi sebagai pertanyaan hati nurani. Dunia yang mengizinkan ini adalah dunia dalam kejatuhan bebas – tidak hanya secara moral, tetapi juga secara peradaban.

Impressions: 58